Laman

Senin, 09 April 2012

BBM NAIK, BUKTI PENGUASA TANGAN BESI!

Naik lagi, naik lagi…lagu lama kembali dirilis ulang. Isu BBM kembali bergulir di bumi zamrud khatulistiwa. Semua berawal ketika sebelumnya pemerintah telah gagal melakukan pembatasan BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi. Akhirnya, pemerintah melalui perantara Menteri ESDM, Jero Wacik di depan raker Komisi VII DPR-RI (Selasa, 6/3/2012), menyodorkan opsi kenaikan BBM sebesar Rp 1.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter mulai April 2012. Rencana kenaikan harga BBM itu juga sudah dimasukkan dalam RAPBN-P 2012 yang diajukan kepada DPR.

Hal yang sama tentang isu naiknya BBM, respon mayoritas dari masyarakat menolak kebijakan pemerintah tersebut. Mulai dari jajaran para anggota dewan dan pejabat negeri, sebagaimana dikutip dari pernyataan Wakil Ketua DPR, Pramono Agung bahwa Setgab koalisi PD pun tak akan kompak menyikapi kenaikan harga BBM karena jelas sekali partai tak mau ambil resiko ditentang rakyat dan kehilangan pemilih (detikNews, 22/3/2012). Hal ini terbukti ketika PKS kemudian menyurati presiden SBY yang berisi penolakan terhadap kenaikan harga BBM. “Kami sudah kirim ke Presiden suratnya” ujar Sekjen PKS, Anis Matta di gedung DPR, Rabu 21 Maret 2012. Menurut PKS, sekitar 13% dari APBN 2012 atau sekitar Rp 95 Triliun yang bisa digunakan untuk menyiapkan infrastruktur pengalihan BBM ke gas (tempo.co. 22/3/2012).

Penolakan juga datang dari kalangan kelompok ormas Islam seperti yang dikatakan Ketua PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin di Yogyakarta bahwa kenaikan harga BBM akan menyusahkan rakyat karena akan disusul dengan kenaikan harga sembako (i-Radio FM Jakarta, 19/3/2012). Hal yang sama diutarakan massa Hizbut Tahrir Indonesia dalam aksi-aksi di berbagai wilayah di Indonesia, begitupun pernyataan mereka bahwa kebijakan ini alih-alih akan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi malah justru akan merugikan rakyat dan memberi tambahan beban kepada rakyat (www.hizbut-tahrir.or.id, 2/03/2012).

Respon paling keras juga datang dari kalangan mahasiswa di berbagai kampus. Bahkan acapkali aksi dari mahasiswa ini ujung-ujungnya berakhir dengan tindakan anarkis sehingga parahnya pemerintah bahkan menurunkan pasukan TNI untuk mengamankan demonstran. Selain itu, aksi-aksi serupa juga dipelopori oleh beberapa pekerja atau buruh di perusahaan-perusahaan tertentu. Mabes Polri Jakarta, Kamis (22/3/2012) bahkan sudah memprediksi bahwa tren unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM akan terus meningkat. “Kalau kita lihat ini pasti akan naik menjelang 1 April. Ini kan bisa dikatakan baru Pemanasan," kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Saud Usman Nasution (detikNews, 22/3/2012).

Serangkaian fakta di atas membuktikan bahwa pada dasarnya suara rakyat negeri Indonesia menolak keras keputusan pemerintah tersebut. Karena yang paling besar merasakan dampaknya kelak adalah lagi-lagi rakyat. Pengamat politik Boni Hargens sebagaimana dilansir di metro tv news bahkan menilai kenaikan harga bahan bakar minyak hanya untuk kepentingan mafia minyak dan gas (migas). Namun, dasar pemerintah seolah sudah tuli akan lolongan rakyatnya sendiri. Pemerintah tetap saja ngotot untuk menaikkan harga BBM. Dengan dalih yang seringkali irasional, pemerintah melangkah maju mengangkangi penderitaan rakyatnya.

Alasan paling getol yang sering dilontarkan oleh pemerintah adalah akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus membumbung melampui harga patokan dalam APBN. Hal yang setali tiga uang dengan keputusan pembatasan subsidi BBM yang dari dulu gencar dilontarkan. Padahal, sesuatu yang berbanding terbalik dengan pemborosan pemerintah dan para pejabat atau aparat negara terkait dana APBN. Misalnya: Anggaran untuk kunjungan dan studi banding tahun 2011 mencapai Rp 21 T yang ternyata dinilai lebih banyak bernuansa plesiran. Belum lagi ada anggaran Belanja barang sebesar Rp 138,5 T dan belanja modal Rp. 168 T yang kadang-kadang anggaran tersebut digunakan untuk belanja yang sifatnya pemborosan seperti renovasi gedung yang masih bagus, penggantian mobil mewah milik para pejabat padahal mobil sebelumnya masih layak pakai. Kemudian, Korupsi dalam penggunaan dana APBN juga semakin meningkat. Dalam catatan KPK, pada 2008 kebocoran APBN mencapai 30-40 persen. Jadi, keputusan menaikkan harga BBM atau program penghapusan subsidi BBM secara perlahan sebenarnya untuk kepentingan siapa?

Jika kita menelisik kembali hal di atas, maka akan ditemukan bahwa kenaikan BBM yang sejalan dengan penghapusan subsidi BBM secara perlahan akan membuat rakyat negeri ini beralih dengan paksa dari BBM bersubsidi ke BBM non subsidi. Ini merupakan agenda Konsensus Washington untuk meliberalkan perekonomian Indonesia melalui liberalisasi BBM. Sederhananya, artinya lagi-lagi yang akan diuntungkan di sini adalah pihak asing. Apabila ini terjadi, tinggal menunggu waktu SPBU-SPBU asing akan semakin bercokol di negeri ini. Sementara SPBU-SPBU dalam negeri semisal Pertamina akan semakin terpinggirkan dan tidak kompetitif lagi karena sektor hulu dan hilir sudah dikuasai asing.

Dampak lainnya dari kenaikan harga BBM juga akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup rakyat. Ditambah lagi, faktanya Subsidi untuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia saja yang bunganya sebesar Rp 230.33 trilyun ternyata hanya dinikmati sekitar 14.000 orang. Sementara, berbanding terbalik dengan Subsidi BBM sebesar Rp 201.36 trilyun dinikmati oleh 230 juta orang.

Alasan lain yang seringkali dijadikan dalih bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah bahwa harga BBM di Indonesia tergolong murah. Oleh karenanya harus dinaikkan. Sebabnya, jika BBM murah maka akan menjadikan rakyat boros dalam menggunakan BBM. Padahal, faktanya BBM di Indonesia (premium, Rp 5000/Liter) lebih mahal dari pada Venezuela Rp 460/L, Turkmenistan Rp 736/L, Iran Rp 828/L, Nigeria Rp 920/L, Saudi Arabia Rp 1104/L, Kuwait Rp 1932/L, dan Mesir Rp 2.300/L. Sementara itu, konsumsi BBM rakyat Indonesia juga pada kenyataannya cukup rendah, berada di urutan ke – 116 di bawah negara Afrika seperti Botswana dan Namibia. Jadi, jelaslah argumen-argumen semacam ini adalah rekayasa alias bohong semata.

Seharusnya jika pemerintah memang menganggap dana APBN terbatas sehingga harga BBM harus dinaikkan atau subsidinya dikurangi/dihilangkan adalah memantau kembali kebiasaan pemerintah dalam menambah utang baru. Sebab, jika mau jujur yang membebani APBN selama ini adalah bukan subsidi melainkan pembayaran utang dan bunganya. Contohnya: tahun 2012 ini pemerintah lagi-lagi menambah utang dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp. 134 T dan utang luar negeri sebesar Rp 54 T. Padahal, ada sisa sisa APBN 2010 lalu Rp 57,42 trilyun ditambah sisa APBN 2011 Rp 39,2 trilyun. Untuk apa utang ditambah, sementara masih ada sisa dana yang tidak digunakan? Padahal bunga SUN dan utang LN itu harus dibayar tiap tahun hingga puluhan triliun.

Langkah lainnya yang harusnya juga ditempuh pemerintah adalah menghentikan segala bentuk kontrak karya yang merugikan Negara. Misalnya: kerugian Negara akibat kontrak impor gas ke Negara China pemerintah dirugikan setiap tahunnya ratus trilyun rupiah. Sejak tahun 2006 – 2009 saja kerugian pemerintah akibat ekspor gas ke Cina diperkirakan sebesar Rp. 410 trilyun. Belum lagi masih banyak kontrak karya yang dilakukan oleh pemerintah sejak jaman orde baru sampai sekarang yang merugikan Negara ratusan trilyun seperti kontrak karya pertambangan emas dengan PT New Mont, PT Free Port, Pertambangan gas dengan Exxon Mobile di Blok Natuna dan tempat-tempat lainnya termasuk juga tambang minyak yang ada di Blok Cepu.

Namun, kedua langkah di atas tidak pernah dan akan ditempuh oleh pemerintah. Karena itulah memang akibatnya jika kebijakan ekonomi Indonesia mengadopsi kebijakan ekonomi kapitalisme yang liberal. Pemerintah melakukan sesuatu bukan demi kepentingan rakyatnya tapi demi kantong para kapitalis. Sangat beda jauh dengan kebijakan ekonomi Islam yang diterapkan dalam Negara Khilafah.

Dalam Islam, barang tambang yang yang jumlahnya melimpah termasuk minyak dan gas tidak boleh diserahkan kepada individu, kelompok apalagi asing. Karena hal tersebut masuk dalam kategori pemilikan umum (milkiyah ‘amah) yang sejatinya adalah milik rakyat yang harus dikelola oleh pemerintah/penguasa dengan baik dan amanah, demi kepentingan rakyat semata. Sebagaimana yang pernah dilakukan Rosulullah SAW ketika menarik kembali tambang garam yang beliau berikan pada Abyadh bin Hammal RA setelah beliau mengetahui bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah. Maka tambang garam tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu dan merupakan milik kaum Muslimin.

Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja tapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Hal ini karena semua barang tambang jumlahnya “layaknya air yang mengalir” (al-maa’ al-‘idd) – depositnya melimpah – tidak boleh dimiliki oleh individu (privatisasi). Hal ini juga dipertegas oleh sabda Rasul saw. dalam hadist Riwayat Abu Dawud: “Manusia berserikat (punya andil) dalam 3 hal: air, padang rumput, dan api”. Dimana maksud Api dalam hadist tersebut adalah energi termasuk di dalamnya migas.

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa hanya dengan Syariah Islam dan Negara Khilafahlah solusi yang dapat menuntaskan permasalahan umat hari ini termasuk perkara BBM. Karenanya bergerak dan berjuang bersama dalam menegakkan kembali dua perkara urgen tadi seharusnya menjadi wujud kepedulian kita akan masalah-masalah yang terjadi hari ini. Hanya dengan ketakwaan dalam menerapkan Syariah Allah maka rakyat di negeri ini akan sejahtera. Sebagaimana firman-Nya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. al-A’raf [7]: 96). Wallahu a’lam. (3SB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar