Laman

Senin, 08 Februari 2010

Pengemban Dakwah

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [An-Nahl: 125]


Dakwah sebagaimana kita ketahui adalah mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik, sehingga mad’u (orang yang diseru) meninggalkan taghut dan beriman hanya kepada Allah yang Maha Esa. Mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.
Dakwah merupakan poros paling besar dalam agama dan merupakan tugas para nabi dan orang-orang pilihanNya. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana, dan dunia akan menuju kebinasaan. Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104, Allah telah berfirman,

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dari ayat tersebut terkandung penjelasan bahwa berdakwah merupakan fardhu kifayah. Jika telah ada sebagian dari umat Islam yang melaksanakan tugas tersebut, maka yang lain terbebas dari kewajiban itu. Namun, meskipun itu fardhu kifayah, jangan sampai kita tidak mengambil peran itu. Sebab, orang-orang yang mengambil peran itu adalah orang-orang pilihan; sebagai penerus para nabi dan rasul.

Pentingnya berdakwah bagi kemaslahatan masyarakat telah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya. Dari Nu’man bin Basyir RA, dia berkata ” Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang menggunakan hukum-hukum Allah, berada dalam hukum-hukum itu dan hanya mencari muka karenanya, seperti segolongan umat yang naik perahu. Sebagian golongan dari mereka ada yang menetap di bawah, yang kasar dan paling jelek, sebagian yang lain menetap di atas. Jika orang-orang yang di bawah hendak mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas dan mengganggu. Mereka berkata, ”Andaikan saja kita membuat lubang di tempat bagian kita ini agar kita tidak mengganggu orang yang di atas kita.” Jika urusan mereka itu dibiarkan, tentu mereka semua akan binasa. Namun jika mereka dihalangi, tentu mereka semua akan selamat.” [HR. Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan Baihaqi]

Menurut Muhammad Natsir, dakwah mempunyai dua sisi yang komplementer yaitu membina umat dan memelihara atau membentengi umat dari bahaya batil. Juru dakwah yang unggul tidak menciptakan banyak musuh, melainkan mencari teman sebanyak mungkin. Etika dakwah seperti kesantunan dan keluwesan merupakan hal yang penting untuk mendukung proses pencapaian tujuan dakwah. Ia mengatakan, dai bukanlah seperti seseorang yang membawa landak ke tengah pasar yang badannya penuh duri-duri panjang dan runcing, yang akan menusuk siapa saja yang mendekat.

Tujuan dakwah, adalah keridhaan Ilahi yang memungkinkan tercapainya ‘hidup yang sebenarnya hidup’ yang lebih tinggi mutunya dari hidup manusia. Hidup immaterial sebagai kelanjutan dari hidup materil, hidup yang ukhrawi merupakan puncak kebahagiaan karena bertemu dengan sang Khalik.

Rasulullah berpesan agar kita mengemban tugas berat ini, karena dakwah memiliki keistimewaan. Yaitu pertama, dakwah merupakan tugas pokok para rasul. Para rasul berjuang meluruskan jalan manusia yang sudah tidak sesuai fitrahnya, meluruskan akidahnya, serta mengajak melakukan perbuatan baik dan meninggalkan semua perbuatan buruk. Karena tugas ini sangat berat, maka jangan heran bila para penerusnya akan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Allah SWT berfirman, ”Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”[Saba': 28]

Dalam Al-Qur’an surat lainnya, Allah SWT juga berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan, kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [Al-Maidah: 67]

Kedua, dakwah merupakan nikmat Allah yang paling besar.

Ketiga, dakwah merupakan sebaik-baik amal. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam Al-Qur’an, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An-Nahl: 97]

Allah SWT akan menganugerahkan kehidupan penuh berkah kepada mereka yang hidupnya digunakan dalam jalan dakwah, menyeru manusia ke jalan Allah. Para juru dakwah akan mendapatkan ridha dan cinta Allah, rahmatNya, ampunanNya, dan pahala yang dilipatgandakan yang tidak akan terputus. Semua anugerah itu diberikan Allah karena para juru dakwah telah mengikuti jalan yang ditempuh Rasulullah SAW. Allah SWT menegaskannya, “Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali Imran: 31]

Keberuntungan yang Allah berikan kepada seorang juru dakwah sangatlah sayang untuk sekedar dilewatkan begitu saja. Takutlah akan siksa Allah bila kita mempunyai kemampuan untuk berdakwah tetapi kita tidak melakukannya. Maka sepantasnya bagi kita untuk menyatukan langkah, menyeru kepada kebaikan, mengajak kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Sungguh, Allah akan memberi pertolongan kepada hamba-hambaNya yang menolong agama Allah dan akan meneguhkan pijakan kaki-kaki mereka di atas dien yang lurus ini. ”Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)

Seorang yang mengemban dakwah akan berusaha selalu untuk menyebarkan dan terus-menerus berusaha mengaplikasikan apa yang telah dia pahami. Oleh karena itu, kita mesti membedakan antara pengemban dakwah dengan mufti, orang alim, pemberi nasehat dan guru.

Mufti adalah orang yang bersedia memberikan fatwa, sehingga orang datang kepadanya untuk bertanya tentang hukum syara’ berkenaan dengan aktivitas tertentu yang mereka alami, ataupun yang dialami orang lain.

Orang alim adalah orang yang menjalankan aktivitasnya mengikuti kepada pengetahuannya yang terdapat dalam kitab. Ia tidak akan mudah mengeluarkan fatwa, tetapi apabila ia ditanya persoalan berkenaan dengan masalah tertentu, ia pun akan menjawabnya sebagai satu persoalan, bukan sebagai keputusan hukum tertentu yang berlaku untuk hal tertentu.

Pemberi nasehat adalah orang yang biasa memberi peringatan kepada orang lain tentang akhirat, adzab Allah, surga, hisab, serta memberi nasehat agar mengikuti tingkah laku yang dapat menjamin keselamatan manusia di akhirat dan selamat daripada adzab neraka yang pedih.

Guru adalah orang yang hanya mengajari orang lain tentang berbagai pengetahuan, tanpa memperhatikan realitas, keadaan dan usaha untuk melaksanakannya. Memang, kadangkala dalam diri seseorang telah menyatu sebagian keutamaan yang lain, namun hal itu tetap menjadikan mereka mempunyai gambaran yang khas tentang dirinya. Termasuk apabila ia mempunyai keempat sifat tersebut.

Sedangkan pengemban dakwah, berbeda dengan mereka semua. Sebab, pengemban dakwah adalah ahli siasah yang mengurusi seluruh urusan manusia dengan hukum syara’. Tujuannya adalah mencari ridha Allah SWT. Karena itu, ia tidak mempunyai sifat seperti mufti. Sebab, ia tidak akan mudah mengeluarkan fatwa dan tidak akan membahas perbuatan individu-individu sebagai individu untuk memberikan hukum syara’ berkenaan dengan masalah tersebut. Dia juga tidak mempunyai sifat seperti orang alim. Sebab pekerjaannya bukan mengikuti pengetahuan yang terdapat di dalam buku, meskipun ia senantiasa menelaah berbagai buku untuk mencari pengetahuan. Mengikuti buku bukan pekerjaan dan tujuan utamanya. Sebab mengikuti buku untuk mencari pengetahuan tersebut hanya menjadi salah satu alat untuk melakukan pekerjaannya, yaitu menyelesaikan soal-soal masyarakat dengan segala kebijaksanaan.

Pengemban dakwah juga bukan seperti seorang pemberi nasehat yang mengingatkan orang lain tentang akhirat dan memalingkan mereka dari kehidupan dunia. Tetapi, ia mengurusi urusan mereka dan menyadarkan mereka tentang dunia, agar mereka dapat mengusai dunia mereka sehingga dapat beramal sholeh yang akan memberikan mereka ridha Allah SWT di akhirat kelak. Dia juga bukan seorang seperti guru, meskipun ia mendidik banyak orang dengan pemikiran dan hukum. Sebab mengajarkan pengetahuan saja bukan merupakan tujuan hidupnya, sehingga ia akan berusaha memberikan pemikiran yang senantiasa dapat dikaitkan dengan kenyataan dan keadaannya, yang mana dia selalu berorientasi sebagai aktifitas mengurusi umat dan bukannya hanya sebagai suatu ilmu pengetahuan belaka.

Seorang pengemban dakwah juga tidak akan kenal lelah menegakkan kalimatullah walaupun berbagai tantangan menghalanginya. Mohammad Natsir kembali menguraikan dakwah merupakan kewajiban seorang Muslim yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Beliau juga berkata, “Saya tidak takut masa depan, karena tidak ada bahaya. Masa depan milik umat Islam, jika mereka tetap istiqomah, baik secara pribadi atau kolektif.” Selanjutnya ditegaskannya, “Perjuangan dakwah adalah bekerja dan beramal tanpa pamrih, lebih suka memberi daripada menerima, tidak putus asa bila menemui kegagalan, menjadikan jihad sebagai jalan hidup, syahid di medan juang sebagai cita-cita dan istiqomah.” Wallahu a’lam bis-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar